Di era serba digital seperti sekarang, hampir semua aspek kehidupan masyarakat berubah secara drastis. Transaksi jual beli berpindah ke e-commerce, pembayaran menggunakan dompet digital, dan hiburan beralih ke platform streaming.
Ekonomi digital tumbuh begitu cepat, tetapi pertanyaan pentingnya adalah: apakah sistem perpajakan Indonesia sudah siap memanfaatkan peluang ini, atau justru tertinggal di belakang?
Saya meyakini bahwa pajak digital akan menjadi tulang punggung penerimaan negara di masa depan. Jika dikelola dengan tepat, Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan. Namun, jika pemerintah tidak bergerak cepat, kebocoran penerimaan negara akan semakin besar, sementara perusahaan teknologi global terus menguasai pasar.
ERA DIGITAL DAN TANTANGAN PENERIMAAN NEGARA
Menurut laporan Google, Temasek, dan Bain & Company (2024), nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai USD 130 miliar pada 2025. Angka ini sangat fantastis dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar digital terbesar di Asia Tenggara.
Namun, dalam opini saya, ada tiga tantangan utama yang harus segera diatasi agar penerimaan negara tidak tertinggal:
1. Dominasi Platform Global
Perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Meta, TikTok, Netflix, dan Amazon menguasai pangsa pasar Indonesia. Mereka meraup keuntungan besar, tetapi kontribusi pajaknya belum sebanding dengan pendapatan yang diperoleh.
2. Transaksi Digital yang Lintas Batas
Transaksi ekonomi digital sebagian besar terjadi lintas negara, sehingga mempersulit pemantauan. Tanpa teknologi big data dan analisis real time, potensi penerimaan negara akan banyak hilang.
3. Basis Pajak yang Masih Sempit
Banyak pelaku usaha digital, seperti UMKM berbasis online, freelancer, kreator konten, hingga pedagang di marketplace, belum masuk ke sistem perpajakan.
DIGITALISASI PERPAJAKAN: LANGKAH TEPAT, TAPI PERLU DIPERKUAT
Saya mengapresiasi langkah pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam melakukan digitalisasi layanan perpajakan. Program seperti e-filing, e-billing, e-invoicing, dan penerapan Core Tax Administration System (CTAS) adalah inovasi penting untuk mempermudah wajib pajak.
Namun, digitalisasi saat ini masih bersifat administratif, belum sepenuhnya strategis.
Tantangan terbesar di era digital bukan hanya mempermudah pelaporan, tetapi mendeteksi transaksi dan potensi pajak yang belum tersentuh.
STRATEGI OPTIMALISASI PAJAK DIGITAL
Menurut opini saya, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah konkret dan strategis agar penerimaan negara bisa optimal di era digital:
1. Memperluas Basis Pajak Digital
Banyak pelaku ekonomi digital belum terdaftar sebagai wajib pajak. Pemerintah harus menargetkan sektor-sektor berikut:
– UMKM berbasis e-commerce
– Freelancer dan kreator konten digital
– Pelaku gig economy, seperti pengemudi ride-hailing dan kurir online
2. Mengoptimalkan Big Data dan Kecerdasan Buatan
Data adalah kunci utama dalam perpajakan digital. Pemerintah harus memanfaatkan big data analytics dan AI untuk mendeteksi transaksi online lintas platform secara real time dan menemukan potensi kebocoran penerimaan.
3. Pajak Digital untuk Perusahaan Global
Indonesia telah mewajibkan platform internasional memungut PPN sejak 2020, sebuah langkah maju yang patut diapresiasi. Namun, kebijakan ini perlu ditingkatkan dengan penerapan Digital Service Tax (DST) untuk perusahaan raksasa global.
4. Literasi Pajak untuk Generasi Digital
Generasi muda kini menjadi pelaku utama ekonomi digital, baik sebagai kreator konten, penjual online, maupun trader aset digital. Sayangnya, kesadaran pajak mereka masih rendah. Pemerintah harus meningkatkan literasi pajak dengan edukasi praktis dan kampanye kreatif melalui media sosial.
5. Pajak Hijau dan Inovasi Fiskal Baru
Tren global mengarah pada ekonomi berkelanjutan. Pajak karbon bisa menjadi instrumen baru untuk menambah penerimaan negara sekaligus mendorong perusahaan menerapkan praktik ramah lingkungan.
KOLABORASI MULTI-PIHAK ADALAH KUNCI
Keberhasilan optimalisasi pajak digital tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, platform digital, masyarakat, dan komunitas internasional.
PENUTUP
Penerimaan negara adalah sumber kehidupan pembangunan. Di era digital, peluang penerimaan meningkat tajam, tetapi risikonya juga besar. Jika pemerintah tidak cepat beradaptasi, potensi pajak akan bocor ke luar negeri dan kemandirian fiskal sulit tercapai.
Saya optimistis Indonesia bisa menjadi salah satu negara dengan sistem perpajakan digital paling maju di Asia Tenggara. Dengan memaksimalkan big data, AI, kolaborasi internasional, dan edukasi masyarakat, kita bisa mengoptimalkan pajak digital sebagai motor penggerak pembangunan nasional.
Digitalisasi bukan pilihan, melainkan keharusan. Jika langkah-langkah strategis dilakukan sekarang, saya percaya Indonesia akan mampu mencapai kemandirian fiskal dan mewujudkan Indonesia Emas 2045.