Solok – Desakan publik agar aparat menindak tegas mafia emas ilegal di Kabupaten Solok semakin nyaring. Namun, hingga kini nama-nama besar seperti Niko dan Suli yang disebut-sebut masyarakat sebagai pengendali tambang emas ilegal masih bebas menjalankan bisnis haramnya.
Meski kerusakan lingkungan kian meluas, penegakan hukum terkesan jalan di tempat. Kapolda Sumbar maupun Kapolres Solok belum terlihat mengambil langkah signifikan, sehingga muncul dugaan kuat adanya pembiaran terhadap praktik pertambangan tanpa izin ini.
Puluhan Alat Berat, Upeti Diduga Stabil
Informasi yang dihimpun, aktivitas tambang emas ilegal di Solok kini melibatkan puluhan unit alat berat dan mesin dompeng yang beroperasi hampir tanpa henti. Ironisnya, dari balik dentuman mesin tersebut, muncul dugaan adanya setoran atau upeti stabil per unit alat kepada oknum-oknum tertentu.
“Setiap unit ada setoran tetap. Itu sudah jadi rahasia umum. Karena itu, tambang tetap jalan meski sudah berkali-kali diprotes,” ujar seorang sumber terpercaya di lapangan.
Skema inilah yang membuat operasi tambang semakin sulit disentuh. Buruh kasar hanya dijadikan tameng, sementara keuntungan besar dan upeti mengalir ke segelintir orang yang punya kuasa.
WPR Dijadikan Tameng
Belakangan, isu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) mencuat di tengah polemik. Sejumlah pihak diduga menjadikan wacana WPR sebagai tameng untuk melindungi aktivitas ilegal yang berjalan saat ini. Padahal, proses penetapan WPR masih sangat panjang dan memerlukan kajian teknis, lingkungan, hingga izin resmi dari pemerintah pusat.
“Kalau memang WPR mau dijadikan alasan, itu jelas menyesatkan. Sampai hari ini belum ada WPR resmi di Solok. Jadi tambang yang berjalan itu murni ilegal, apalagi dilakukan dengan alat berat dan dompeng skala besar,” ungkap seorang pemerhati lingkungan di Solok.
Siapa Niko dan Suli?
Di balik hingar-bingar tambang emas ilegal, nama Niko dan Suli semakin sering diperbincangkan. Niko dikenal menguasai jejaring di wilayah Nagari Kipek, sementara Suli mengendalikan aktivitas di Nagari Supayang. Keduanya disebut-sebut masyarakat sebagai “raja kecil” yang mampu mengatur siapa yang boleh menambang, berapa setoran yang harus dibayarkan, hingga melindungi operasi tambang dari jeratan hukum.
“Orang-orang di bawah hanya pekerja kasar. Semua tahu siapa bosnya. Tapi anehnya, nama Niko dan Suli tidak pernah disentuh hukum. Seolah-olah mereka kebal,” kata seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Aparat Ditantang Punya Nyali
Publik kini menantang aparat penegak hukum, khususnya Polda Sumbar dan Polres Solok, untuk benar-benar punya nyali membongkar lingkaran mafia emas ilegal. Jangan hanya menjadikan isu WPR sebagai alasan untuk menutup mata, sementara lingkungan dan masyarakat terus menjadi korban.
“Kalau aparat tidak serius, jangan salahkan masyarakat kalau kehilangan kepercayaan. Karena yang rusak bukan hanya sungai dan tanah, tapi juga keadilan,” tegas seorang tokoh masyarakat.
Gelombang tekanan semakin besar. Pertanyaannya kini sederhana: beranikah aparat menyentuh nama besar seperti Niko dan Suli, atau justru terus membiarkan mereka menari di atas penderitaan rakyat?