Solok – Gunung, sungai, hingga lahan pertanian warga di Kabupaten Solok kian porak-poranda oleh aktivitas tambang emas ilegal. Dari Nagari Aie Luoh Jorong Kipek, Supayang, Sirukam, Simanau, Rangkiang Luluih, sampai Sumiso—alat berat dan mesin dompeng beroperasi hampir tanpa jeda. Seolah-olah, hukum di wilayah ini mati suri.
Di balik hiruk-pikuk mesin penyedot emas, nama dua sosok mencuat sebagai “raja kecil” yang mengendalikan bisnis kotor ini: Niko di Nagari Kipek dan Suli di Nagari Supayang. Keduanya disebut-sebut masyarakat sebagai otak dari lingkaran mafia emas ilegal yang terstruktur rapi di Kecamatan Tigo Lurah hingga Samo Payung Sakaki.
Jejaring Mafia yang Tak Tersentuh
Hasil penelusuran lapangan menunjukkan, tambang emas ilegal di Solok tidak dijalankan secara sporadis. Ada skema yang jelas: buruh kasar hanya bekerja sebagai “kaki tangan”, sementara keuntungan besar mengalir ke segelintir orang yang bermain di balik layar.
“Kalau soal emas ilegal di sini, tidak bisa lepas dari nama Niko dan Suli. Semua orang tahu itu, tapi tidak ada yang berani bicara keras,” ungkap seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kuat dugaan, jejaring ini mendapat perlindungan dari oknum-oknum tertentu, sehingga aktivitas tambang terus berjalan mulus meski sudah berkali-kali disorot publik.
Lingkungan Rusak, Warga yang Menjerit
Apa dampaknya? Sungai keruh, sawah tertimbun lumpur, tanah longsor jadi ancaman, hingga konflik horizontal antarwarga yang sulit dihindarkan. Lahan produktif yang seharusnya jadi sumber hidup generasi mendatang berubah menjadi kubangan tambang rakus.
“Yang kaya itu-itu saja, yang sengsara rakyat kecil. Air minum keruh, lahan rusak, ikan mati. Tapi aparat pura-pura tidak melihat,” kata seorang tokoh masyarakat dengan nada getir.
Penegakan Hukum Setengah Hati
Yang paling ironis, penegakan hukum nyaris hanya sebatas wacana. Razia sesekali dilakukan, tapi tak ubahnya sandiwara: buruh kecil ditangkap, sementara aktor besar tetap duduk manis menikmati hasil jarahan emas.
Warga menilai aparat, baik di level daerah maupun provinsi, terlalu “ramah” terhadap mafia emas. Bahkan, isu bahwa ada setoran dan “pelicin” kepada oknum tertentu semakin menguat di tengah masyarakat.
“Kalau aparat serius, kenapa nama-nama seperti Niko dan Suli tidak pernah tersentuh? Jangan hanya tangkap operator dompeng, tapi biarkan mafia besar tertawa di belakang,” sindir seorang warga dengan nada marah.
Menunggu Nyali Aparat
Gelombang desakan publik makin besar. Masyarakat Solok menuntut aparat penegak hukum benar-benar berani memutus lingkaran mafia emas ilegal, bukan sekadar menjadikan rakyat kecil sebagai tumbal hukum.
Jika pembiaran ini terus berlangsung, bukan hanya lingkungan yang hancur, tapi juga martabat hukum di negeri ini. Kabupaten Solok berpotensi menjadi contoh telanjang bagaimana mafia emas bisa mengendalikan segalanya—bahkan menundukkan hukum.