Solok Selatan – Aktivitas tambang emas ilegal (PETI) di Kabupaten Solok Selatan kian merajalela. Alih-alih diberantas, penindakan aparat justru dinilai hanya formalitas belaka—terkesan kucing-kucingan dengan para pelaku.
Setiap kali operasi digelar, informasi selalu bocor. Aparat hanya menemukan bekas aktivitas tambang yang masih basah, sementara para pelaku sudah lebih dulu kabur. Ironisnya, tak lama setelah operasi selesai, mereka kembali beroperasi seakan tak tersentuh hukum. Publik pun bertanya-tanya: apakah aparat benar-benar tak berdaya, atau justru ada permainan antara penambang ilegal dengan oknum penegak hukum?
Hasil pantauan tim wartawan di lapangan pada 9 September 2025 menemukan puluhan unit alat berat excavator yang terus bekerja mengeruk aliran Sungai Batanghari. Aktivitas PETI terpantau tersebar di sejumlah titik, mulai dari Muaro Sangir, Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Tengah, hingga Induk di Kecamatan Sangir Batanghari, Solok Selatan.
Dampak Lingkungan Mengkhawatirkan
Kerusakan terlihat nyata. Air Sungai Batanghari yang vital bagi jutaan warga berubah keruh seperti kubangan. Limbah tambang mengandung merkuri dibuang begitu saja ke sungai. Padahal, merkuri adalah zat beracun yang bisa merusak saraf, paru-paru, ginjal, hingga sistem kekebalan tubuh manusia jika terakumulasi.
Sungai Batanghari sendiri bukan sungai sembarangan. Dengan panjang 800 kilometer dari hulu Gunung Rasan hingga Muara Sabak, Jambi, sungai ini melintasi berbagai kabupaten, termasuk Solok Selatan, Dharmasraya, Bungo, Tebo, Batanghari, hingga Kota Jambi. Ia adalah sumber air bersih, irigasi, perikanan, transportasi, sekaligus jalur perdagangan. Kini, fungsi vital itu terancam lenyap akibat kerakusan penambang ilegal yang merajalela.
Komitmen Pemprov Berbanding Terbalik dengan Fakta Lapangan
Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi sebelumnya menegaskan komitmennya memberantas PETI.
“Lingkungan yang rusak akan membawa masalah berkepanjangan. Karena itu, kita tidak boleh diam. Kita harus bergerak bersama menertibkan aktivitas pertambangan agar sesuai aturan,” ujarnya di Padang, Kamis (11/9/2025), usai FGD dengan Forkopimda Sumbar.
Namun komitmen itu justru berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Fakta menunjukkan PETI tetap leluasa beroperasi. Para penambang merasa aman karena dilindungi “uang payung” alias setoran kepada oknum tertentu.
BBM Subsidi Jadi Korban
Selain merusak lingkungan, praktik PETI juga menimbulkan masalah lain. Solar subsidi terus disedot untuk menghidupi alat berat penambang. Akibatnya, masyarakat kesulitan mendapatkan BBM di SPBU setempat. Dugaan keterlibatan jaringan mafia distribusi BBM bersubsidi pun semakin menguat.
Aparat Dinilai Tutup Mata
Praktik ilegal yang dilakukan terang-terangan ini membuat publik semakin curiga. Mengapa aparat terkesan membiarkan? Dugaan adanya “permainan belakang layar” tak bisa dibantah begitu saja.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya ekologi yang hancur, tapi juga wibawa hukum di mata masyarakat akan terkubur bersama kerak rakus para penambang emas ilegal.